Menhir Nagari Mahat

Kata mahat berasal dari maek, yang artinya mayat. Setiapmenhir selalu menghadap ke arah Gunung Sago (timur laut). Menurut mitos, orang dahulu menganggap Gunung Sago sebagai Tuhan. Dan bisa jadi sebuah alasan kalau mayat yang dikubur nisannya (menhir) menghadap Gunung Sago.

Nagari Mahat yang terletak di lembah yang luas dikelilingi bukit-bukit kecil memunyai luas 22.633 km2. Nagari Mahat terletak di Kecamatan Bukit Barisan, Kab. Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Nagari adalah sebuah istilah untuk menyebutkan suatu desa di Minangkabau. Nagari asal usulnya bermula dari Taratak – Dusun – Koto – Nagari.

Taratak adalah tempat awal oleh nenek moyang Minangkabau menetap. Dusun, masyarakatnya yang berkembang kemudian dengan adanya adat, kehidupan masyarakat mulai tersusun, aturan tersebut disebut dusun artinya tersusun. Koto, setelah dusun berkembang karena bertambahnya populasi masyarakat maka timbullah pemikiran untuk meningkatkan adat atau aturan masing-masing dusun, berbagai pemikiran kelompok dapat satu kato berarti satu kata mufakat, maka daerah ini dinamakan sakato, kemudian berdirilah beberapa Koto. Nagari, daerah yang terdiri dari beberapa koto diberi batas atau dipagari karena tiap nagari memiliki aturan adat sendiri, dari kata pagar tersebut muncul istilah nagari.

Di Nagari Mahat banyak ditemukan tinggalan arkeologis, di antaranya menhir, batu dakon, lumpang batu, dan balai-balai batu. Temuan menhir paling dominan yaitu ±800 buah dari berbagai bentuk, ukuran, dan motif hias. Situs-situs megalitik Mahat di antaranya situs Koto Tinggi, Padang Ilalang, Koto Gadang, Ronah, Ampang Gadang, dan lain-lain.

Penentuan tipologi menhir yang beragam di Nagari Mahat dilihat dari variabel-variabel atribut. Variabel tersebut adalah teknologi, bentuk, ukuran, dan pola hias. Teknologi pembuatan menhir di Nagari Mahat dilakukan melalui proses anostractive technology, yakni berupa proses pembentukan hasil melalui pengurangan volume bahan (proses sentrifugal) sehingga menghasilkan bentuk menhir yang sangat beragam. Keragaman nampak pada bentuk ujung atas menhir, bentuk badan seperti hulu pedang, gagang golok, buaya, serta biji-bijian, sedangkan dari arah lengkungan menhir, keseluruhan menhir melengkung ke arah tenggara kecuali di Situs Padang Ilalang, orientasi lengkungannya ke selatan dengan ukuran berkisar antara 30-400 cm.

Penggolongan menhir berdasarkan ukuran apabila dikaitkan dengan pola hias, dapat dikatakan bahwa pola hias menhir hanya terdapat pada menhir yang berukuran sedang dan besar, sedangkan menhir yang termasuk ke golongan berukuran kecil tidak ditemukan pola hias. Secara artefaktual dapat dikatakan bahwa menhir ditinjau berdasarkan ukuran menunjukkan perbedaan ada dan tidaknya hiasan. Perbedaan dimaksudkan sebagai pertanda perbedaan status sosial bagi orang-orang yang dimakamkan di daerah tersebut. Motif hias tersebut adalah pucuak rabuang (segitiga), sulur, jalo/ula gerang (sulur ganda), dan garis.

Masyarakat Mahat sekarang yang mayoritas memeluk agama Islam, menganggap menhir yang ada di sekitarnya itu disebut sebagai batu urang saisuak (batu orang dahulu kala), fungsinya sebagai nisan kuburan (mejan) orang-orang masa lalu. Selain dianggap sebagai nisan kuburan, ada juga yang dianggap sebagai batas tanah atau dalam istilah lokal disebut dengan lantak tanah, dan ada juga menyebutkan menhir sebagai lambang pesukuan. Umumnya mejan-mejan dan lantak tanah tersebut dianggap sebagai suatu yang dikeramatkan dan angker untuk didekati. Bahkan ada yang beranggapan menhir-menhir ini dapat mendatangkan bencana seperti sakit dan sebagainya jika benda tersebut didekati atau dijamah; dengan kata lain bahwa daerah di sekitar menhir adalah tempat sakral. Menurut masyarakat setempat, tinggalan megalitik seperti punden ini, yang berada di Situs Koto Gadang, dulu difungsikan sebagai tempat barundiang datuak-datuak, yakni tempat perundingan kepala suku atau tetuah adat. Perundingan yang dimaksud adalah dalam berbagai hal yang berkaitan dengan keputusan adat istiadat atau apa pun yang berkenaan dengan masalah kesejahteraan masyarakat di Nagari Mahat. Oleh sebab itu punden tersebut disebut sebagai balai-balai batu, dalam bahasa Minangkabau balai berarti tempat pertemuan atau perkumpulan.

Umumnya mejan-mejan dan lantak tanah tersebut dianggap sebagai suatu yang dikeramatkan dan angker untuk didekati, bahkan ada yang beranggapan menhir-menhir ini dapat mendatangkan bencana seperti sakit dan sebagainya jika benda tersebut didekati atau dijamah dengan kata lain bahwa daerah di sekitar menhir adalah tempat sakral. Menurut masyarakat setempat tinggalan megalitik seperti punden ini, yang berada di Situs Koto Gadang dulu difungsikan sebagai tempat barundiang datuak-datuak, yakni tempat perundingan kepala suku atau tetuah adat.

Perundingan yang dimaksud adalah dalam berbagai hal yang berkaitan dengan keputusan adat istiadat atau apapun yang berkenaan dengan masalah kesejahteraan masyarakat di Nagari Mahat, oleh sebab itu punden tersebut disebut sebagai balai-balai batu, dalam bahasa Minangkabau balai berarti tempat pertemuan atau perkumpulan (lihat gambar di samping). Namun seiring berjalannya waktu terutama setelah kuatnya ajaran Islam di Nagari Mahat semua mitos itu tidak dihiraukan lagi oleh beberapa kelompok masyarakat.

Peninggalan megalitik di Nagari Mahat berupa menhir hampir mengalami kehancuran dan kepunahan. Beberapa menhir yang sudah roboh sengaja dijadikan untuk memenuhi keperluan lain seperti pondasi jembatan, batas lahan pertanian, dan lain-lain. Semenjak tahun 1980 barulah situs-situs di Nagari Mahat mendapat perhatian dan perlindungan dari pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar. Semenjak itu masyarakat baru mengetahui tentang arti pentingnya tinggalan-tinggalan megalitik terutama menhir yang sangat beragam di nagari mereka.



Tidak ada komentar:

Warta Loka | Seribu Satu Catatan Dalam Dunia Penuh Warna
© All Rights Reserved | Best View With Mozilla Firefox