Batu Batikam di Limo Kaum

Batu yang sudah melegenda ini terdapat di Jorong Dusun Tuo, Nagari Lima Kaum. Batu yang berukuran 55 x 20 x 45 cm berbentuk mirip segi tiga ini terletek sekitar 15 menit dari Pusat Kota Batu Sangkar. Dimana, terdapat bekas tikaman yang katanya dengan menggunakan Keris. Konon ceritanya batu ini merupakan lambang perdamaian antara pemimpin yang berkuasa pada saat itu, yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Dan cerita lain juga menyebutkan bahwa batu besar tersebut ditikam dengan keris, yang menurut sejarah ditikam oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang sebagai pelampiasan emosi ketika bertikai dengan Datuk Katumanggungan.

Selain itu di area Batu Batikam dengan luar 1.800 m2 itu, dahulunya juga merupakan Medan Nan Bapaneh dimana terdapat susunan batu-batu seperti sandaran tempat duduk yaitu tempat permusyawaratan kepala suku. Karena didukung juga dengan kesejukan area disekitar Medan Nan Bapaneh yang dikelilingi oleh Pohon-pohon besar rindang yang telah berusia ratusan tahun.


Batu Batikam termasuk salah satu lokasi cagar budaya yang berada dalam pengawasan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumbar, Riau dan Jambi yang ber­kantor di Pagaruyung . Secara lahiriah benda cagar budaya ini merupakan sebuah bungkahan batuan (andesit), berbentuk hampir segi tiga berukuran 55 x 20 x 45 sen­timeter.

Situs budaya ini berdiri sejak 1.800 Masehi. Lokasi Medan Nan Bapaneh ber­bentuk empat persegi panjang seluas 20 meter persegi, se­kelilingnya memiliki kursi bersandaran yang terbuat dari bahan batu. Batu Batikam yang berlubang tembus itu, terjadi akibat ditikam oleh Datuk Parpatiah nan Sabatang, sebagai tanda berakhirnya per­se­li­sihannya dengan Datuk Ke­tumanggungan mengenai soal Adat.

Komplek batu Batikam menurut tambo adat menye­butkan, bahwa di sanalah nagari pertama terbentuk sesudah Pariangan sebagai Nagari Tuo, dibangun oleh Cati Bilang Pandai dengan anaknya Datuak Parpatiaah nan Sa­batang, berikut dengan empat Koto lainnya yaitu Balai Labuah, Balai Batu, Kubu Rajo dan Kampai Piliang, kelima Koto ini hingga se­karang disebut sebagai Lima Kaum.

Sebagai pusat pemerintahan adat Budi Caniago dengan junjungan adatnya Datuak Bandaro Kuniang yang ban­gunan rumah gadangnya masih bisa dilihat di lokasi Kampai Lima Kaum saat ini.

Syahdan, Datuak Parpatiah dan Datuak Katumangguangan berdebat hebat. Keduanya adalah orang bersaudara, berlainan bapak. Datuak Parpatiah nan Sabatang, adalah seorang yang dilahirkan dari seorang bapak aristokrat (cerdik-pandai). Sementara Datuak Katumangguangan, dilahirkan dari seorang ayah yang otokrat (raja-berpunya). Namun pada keduanya, juga mengalir darah dari ibu yang sama, seorang perempuan biasa, seperti apa adanya.

Darah yang mengalir di tubuh keduanya, ternyata berpengaruh pada pandangan hidup yang dijalani. Datuak Parpatiah, menginginkan masyarakat diatur dalam semangat yang “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” (demokratik). Sedang Datuak Katumangguangan, menginginkan rakyat diatur dalam sebuah tatanan yang “berjenjang naik, bertangga turun” (hierarkhial). Perbedaan yang kemudian meruncing menjadi perdebatan, bahkan menjurus menjadi pertikaian.

Sama-sama menghindari untuk melukai saudaranya, kedua datuak kemudian menikamkan pedang dan kerisnya pada batu. Kedua batu itu sekarang, dikenal dengan nama “Batu Batikam” (Batu yang ditikam). Yang satu berdiri tegak di tepi jalan Limo Kaum, di Batu Sangkar Sumatera Barat. Yang lain, ditelan oleh waktu, tinggal cerita, namun tetap dikenang sebagai pertanda. Betapa nenek moyang, yang memiliki kesaktian untuk menghancurkan, bahkan tidak menyukai kekerasan.

Datuak Parpatiah lalu pergi merantau. Memperbandingkan keyakinannya dengan dunia luar. Datuak Katumangguangan sebaliknya, tinggal menjaga kampung halaman, dan membenamkan dirinya dalam kumpulan kebijaksanaan yang ditinggalkan leluhur. Dua cara berbeda, dengan satu tujuan, mencari kebijaksanaan. Dua perjuangan, dengan satu cita-cita, mengatur rakyat agar sejahtera.

Masa berganti, musim bertukar, keduanya bertemu. Dengan kematangan yang semakin baik, sudah tentu. Juga dengan kepala yang semakin banyak tahu. Lalu keduanya duduk berbagi ilmu. Melerai perseteruan yang pernah terjadi bertahun-tahun berlalu. Dan akhirnya bersepakat untuk saling bahu-membahu. Menjadikan rakyat semakin pintar dan maju. Melupakan egoisme masing-masing, mendahulukan kepentingan orang banyak, karena itu lebih penting.

Juga dituturkan, Datuak Katumanggungan juga meni­kam sebuah batu dengan keris­nya, ditempatkan di Sungai Tarab VIII Batu (Bongo Sa­tangkai-Bulakan Sungai Kayu Batarok) sebagai pusat pe­me­rin­tahan Koto Piliang dengan pucuk adatnya Datuak bandaro Putiah.

Sejak itu tidak lagi ada pertikaian antara koto dan nagari. Kedua sistem peme­rintahan adat ini boleh saja dipakai pada setiap wilayah nagari di Luhak Tanah Datar.


Tidak ada komentar:

Warta Loka | Seribu Satu Catatan Dalam Dunia Penuh Warna
© All Rights Reserved | Best View With Mozilla Firefox