Kerajaan Sunda

Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak berhubungan dengan Kerajaan Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang di daerah Sukabumi berhubungan dengan Kerajaan Sunda sampai masa Sri Jayabupati. Keterangan mengenai prasasti ini dapat dilihat pada Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.

Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi duakerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.

Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusatdengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, magaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

Terjemahannya :
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidakmenunjukkan letak Ibukota Tarumanagara.

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.

Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah tokoh Sanna, ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Gurusempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerjaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Simma. Sanjaya, anak Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Pubasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gegegr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari ayahnya, Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkanPurbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi Penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia menganngkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.

Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan sianghari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhirdengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satukekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766).

Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18.

Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkimpoian di antara para kerabat keraton: Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).

Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Darmawangsa, adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Dan Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Darmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Darmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.

Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang :

1. Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M)
2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14. Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M).
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M )

Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Baca Seterusnya »»  

Musang Berjanggut

Raja memerintahkan Cik Awang, suami Syarifah--perempuan berparas cantik--mencari musang berjanggut. Jika tidak dapat, maka leher Cik Awang akan dipenggal. Cik Awang gelisah karena tidak mungkin ada musang yang berjanggut.

Namun, Syarifah paham, perintah Raja itu merupakan siasat untuk menyingkirkan suaminya, dan kemudian menjadikannya sebagai istri. Tidak hanya Raja yang menginginkan Syarifah, tapi diam-diam Datuk Bendahara, Tumenggung, dan Datuk Hakim mereka adalah para menteri kerajaan--juga berupaya mendapatkan Syarifah. Mereka selalu bertandang dan merayu Syarifah.

Hari itu, Datuk Hakim datang merayu Syarifah. Namun, tiba-tiba Si Kolok, pesuruh Syarifah, mengabarkan Tumenggung segera datang. Datuk Hakim ketakutan. Dia meminta Syarifah menyembunyikan dirinya. Syarifah memasukkan Datuk Hakim ke dalam peti mati dan mengunci dari luar. Seperti Datuk Hakim, Tumenggung pun merayu Syarifah. Namun, tak lama kemudian dikabarkan Datuk Bendahara akan datang. Tumenggung yang dalam struktur jabatan lebih rendah, ketakutan. Dia minta Syarifah menyembunyikan dirinya. Syarifah menyarankan Tumenggung berdiri di pojok rumah, berpura-pura jadi patung hiasan. Tak ada pilihan Tumenggung setuju, meski tubuhnya sering gatal-gatal. Masuklah Datuk Bendahara. Dia juga melamar Syarifah. Namun, giliran Raja dikabarkan datang.

Datuk Bendahara takut setengah mati. Dia minta disembunyikan. Syarifah menyembunyikan Datuk Bendahara dalam gentong. Ketika Raja datang ingin melamar Syarifah dengan cara memaksa, para menteri itu--Datuk Hakim, Tumenggung, Datuk Bendahara mengetahui kelakuan Raja, yang selama ini mereka hormati. Sampai kemudian, terjadi keributan. Dari dalam gentong, Datuk Bendahara diam-diam meraih buah-buahan yang dibawa Raja. Tak sengaja tangannya menyentuh patung Tumenggung. Tumenggung terperanjat dan berteriak. Semua jadi kacau. Rahasia Raja, Tumenggung, dan Bendahara terkuak.

Sedangkan Datuk Hakim tetap diam di peti mati. Ketika Raja menagih pada Cik Awang untuk menunjukkan musang berjanggut, Syarifah dan Cik Awang langsung membuka peti mati. Terlihatlah Datuk Hakim di sana. Raja, Tumenggung, dan Datuk Bendahara yang merasa rahasianya pun diketahui Datuk Hakim terkejut dan serempak membenarkan bahwa yang di dalam peti mati itu adalah musang berjanggut. Untuk menutup malu dan kebejatannya, Raja kemudian memuji dan memberikan jabatan untuk Cik Awang yang berhasil menemukan musang berjanggut. 

Baca Seterusnya »»  

Misteri Prasasti Dolok Tolong

Tidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige, Kabupaten Toba Samosir ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan prasasti di Indonesia. Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak. Bahkan Balige merupakan pusat perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya; ‘Onan Bolon’.

Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.

Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya di berbagai tempat lainnya di Indonesia.

Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-jara Barus, Hikayat Raja Tuktung dan Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar daerah yang sekarang menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur’an, dikenal sebagai pendiri Kota Medan di tahun 1590.

Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di Indonesia.

Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini, prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu, pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba (Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.

Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan yang sangat mempesona.

Diceritakan, seorang Pangeran yang mempimpin pelarian tersebut akhirnya memerintahkan untuk membuat prasasti tersebut sebagai sebuah hasil penjanjian dengan Raja dari marga Sumba tersebut dimana mereka diijinkan untuk tinggal di wilayah itu.

Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Paso Paet sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi Majapahit.

Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan bahkan ada pada ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.

Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia (korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.

Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut. Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazzir serta tidak produktif. Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai pluralisme budaya dan adat.


Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.
Baca Seterusnya »»  

Legenda Putri Ular dari Simalungun

Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah sang Putri.
Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat melamar sang putri. Sang raja kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan keinginannya tersebut.
“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.

Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.

“Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri sambil memegang hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.

“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.

Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.

Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.

Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.

“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.

Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu. 

Baca Seterusnya »»  

Si Dayang Bandir

Dahulu di propinsi Sumatera Utara terdapat dua kerajaan. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat. Pada suatu ketika, raja yang berkuasa di Kerajaan Timur menikah dengan adik perempuan dari raja yang berkuasa di Kerajaan Barat. Beberapa tahun kemudian lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama ‘Si Dayang Bandir’, tujuh tahun kemudian lahir seorang anak laki-laki yang bernama Sandean Raja. Ketika masih kecil, ayah Si Dayang Bandir dan Sandean Raja meninggal dunia.

Dengan meninggalnya raja di Kerajaan Timur, maka tahta Kerajaan Timur menjadi kosong. Berhubung Sandean Raja masih kecil dan belum bisa menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja, maka dalam sidang istana kerajaan menunjuk Paman Kareang untuk mengendalikan pemerintahan kerajaan. Si Dayang Bandir mempunyai akal untuk menyelamatkan benda-benda pusaka agar jangan sampai jatuh ke tangan pamannya yang hanya menggantikan pemerintahan sementara. “Hmm.. benda-benda pusaka ini haurs kuselamatkan agar jangan sampai jatuh di tangan pamanku, kelak adik Sandean Raja lah yang berhak atas benda-benda pusaka ini,” gumam Si Dayang Bandir.

Tidak berapa lama, Paman Kareang mengetahui benda-benda pusaka peninggalan raja telah disimpan Si Dayang Bandir. Ia mendesak Si Dayang Bandir agar menyerahkan benda-benda itu. “Awas! Kalau benda-benda itu tidak diserahkan padaku, keselamatanmu akan terancam!” Itulah ancaman Paman Kareang kepada Si Dayang Bandir. Namun Si Dayang Bandir tetap tidak mau menyerahkan benda-benda pusaka itu.

Kekesalan Paman Kareang menyebabkan Si Dayang Bandir dan Sandean Raja dibuang ke hutan. Sesampainya di hutan, Paman Kareang mengikat Si Dayang Bandir di atas sebatang pohon sehingga tidak dapat dijangkau adiknya, Sandean Raja. Sandean Raja menangis tak henti-henti sampai kehabisan air mata. Sandean Raja mencoba membebaskan kakaknya. Tapi ia tidak berhasil memanjat pohon tersebut, setiap mencoba ia pun jatuh. Tubuhnya menjadi tergores dan luka-luka. “Biarlah kekejaman paman ini kutanggung sendiri,” kata Si Dayang Bandir lemah. “Bila kau lapar, makanlah pucuk-pucuk daun yang berada di sekitarmu,” ucap Si Dayang Bandir, kepada adiknya yang kelaparan.

Setelah beberapa hari terikat di batang pohon, akhirnya Si Dayang Bandir tampak mulai lemas dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir. “Begitu kejam pamanku!” umpat Sandean Raja. Ia pun hidup seorang diri di hutan selama beberapa tahun hingga ia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Selama di hutan, ia selalu ditemani roh Si Dayang Bandir. “Ku harap kau segera menghadap Raja Sorma,” bisik halus Roh Si Dayang Bandir, kepada Sandean Raja. Raja Sorma adalah adik kandung dari Ibu Sandean Raja. Raja Sorma tidak kejam seperti Paman Kareang yang saat ini sudah menjadi raja di Kerajaan Timur.

Sandean Raja berhasil keluar dari hutan dan segera menuju ke wilayah Kerajaan Barat untuk menghadap Raja Sorma. “Ampun Sri Baginda Raja Sorma. Hamba adalah Sandean Raja. Putra Mahkota Kerajaan Timur,” kata Sandean Raja. Raja Sorma sangat terkejut dengan ucapan Sandean Raja karena ia mendengar bahwa Sandean Raja dan Si Dayang Bandir telah meninggal dunia. Untuk membuktikan bahwa Sandean Raja benar-benar keponakannya, Sandean Raja diuji memindahkan sebatang pohon hidup dari hutan ke Istana. Ujian selanjutnya, Sandean Raja diharuskan menebas sebidang hutan untuk dijadikan perladangan. Pekerjaan itu diselesaikan Sandean Raja dengan baik. Selanjutnya, Sandean Raja diperintahkan untuk membangun istana besar yang disebut “Rumah Bolon” dan ternyata berhasil dan selesai dalam waktu tiga hari.

Raja Sorma belum mau mengakui Sandean Raja sebagai keponakannya sebelum menempuh ujian terakhir. Yaitu, menunjuk seorang puteri raja di antara puluhan gadis di sebuah ruang yang gelap gulita. Sandean Raja merasa khawatir kalau ujian yang terakhir ini ia tidak berhasil. “Jangan khawatir, aku akan membantumu,” bisik roh Si Dayang Bandir. Akhirnya Sandean Raja berhasil memegang kepala puteri raja yang sedang bersimpuh. Atas keberhasilannya, Sandean Raja diakui sebagai keponakan Raja Sorma dan dinikahkan dengan puterinya. Setahun kemudian, Sandean Raja bersama prajurit Kerajaan Barat menyerang Kerajaan Timur yang dikuasai oleh paman Raja Kareang. Dalam waktu yang tidak lama, Kerajaan Timur berhasil ditaklukkan dan Raja Kareang terbunuh oleh Sandean Raja. Kerajaan Timur akhirnya di kuasai oleh Sandean Raja. Dan akhirnya Sandean Raja dinobatkan menjadi raja Kerajaan Timur dan hidup bahagia bersama istri dan rakyatnya.

Moral :
Untuk membuktikan kebenaran diperlukan ujian yang keras. Hanya orang-orang yang bersemangat, sabar dan besar hatilah yang dapat melewati ujian seberat apapun. 

Baca Seterusnya »»  

Cerita Mandin Tangkaramin

Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada sebuah desa bernama Malinau. Kira-kira satu kilometer dari tempat itu ada sebuah air terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon, menurut Bahasa penduduk di sana, mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin berarti air terjun Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan.

Air terjun itu. tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya sehingga jika berada di hutan itu terasa selalu dalam dekapan gelap malam.

Di dasar air terjun Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil. Di antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum, bernama Manggu Masak.

Konon, air terjun itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu antara Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam terpendam.

Bujang Alai adalah seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan harapan orang-orang tertarik kepadanya.

Berbeda sekali keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan sederhana dan tidak setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menunjukkan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat. Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.

Jika Bujang Alai menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya, Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jika bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.

Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap melanggar adat dan mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya.

Bukan hanya orang tua gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang Kuratauan pun terusik perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau perempuan yang akan dijodohkan kepadanya, peristiwa itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menunjukkan kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh karena itu, Bujang Kuratauan bertekad menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Jauh di hati kecilnya muncul kecurigaan bahwa Bujang Alai menculik gadis itu.

“Sekali ini pasti ia akan kena batunya,” ujar Bujang Kuratauan dalam hati.

Belum lagi usaha pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba menepuk dada. Ia berkata dengan lantang, “Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu mampu menahan ujung kerisku Iebih dulu!”

Jelaslah bahwa Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan. Dahi Bujang Kuratauan berkerut, daun telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan kanannya meraba hulu parang bungkulnya. Ia berkata dengan suara datar, “Aku tak akan menjemput gadis itu ke rumahmu, tetapi aku menuntut tanggung jawabmu sebagai lelaki!”

“Lelaki maksudmu? Keris ini membuktikan kelelakianku! Tentukan tempat dan waktunya!” ujar Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang.

“Musuh tidak kucari, tetapi jika bersua pantang kuelakkan,” sahut Bujang Kuratauan. Ia, berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan suara tertelan, “Jika kerismu mau menjual darah, parang bungkul tumpul ini mampu membelinya!”

Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang tanding, itulah yang akan terjadi.

Keris Nagarunting milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya, diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. Bujang Kuratauan tidak ingin kalah aksi melihat atraksi yang dipamerkan Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi.

Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang Alai dengan tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris Nagarunting ke dada Bujang Kuratauan. Akan tetapi, Bujang Kuratauan sudah slap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya. Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung dapat dielakkannya. Bahkan jika mau, pasti is sempat menebaskan parang bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi, Bujang Kuratauan bukan orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu ternyata membuat hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan.

“Gunakan senjatamu jika engkau merasa sebagai lelaki!” tantang Bujang Alai.

Bujang Kuratauan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap nlemegang hulu parang bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan dilakukan Bujang Alai.

Nalurinya tidak salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Bujang Kuratauan sehingga Bujang Kuratauan susah mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan parang bungkul menimbulkan kilatan api di angkasa. Mereka memiliki kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratauan tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan menebaskan parang bungkulnya.

Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai, tetapi tidak segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang Kuratauan, berkali-kali ujung keris Bujang Alai tidak dapat dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya.

“Kita lanjutkan di tempat lain!” ujar Bujang Alai.
“Di mana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.
“Mandin Tangkaramin pilihanku!” ujar Bujang Alai.
“Di sana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.

Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang saat pertarungan berikut itu mereka gunakan untuk mempersiapkan diri agar dapat mengalahkan lawan.

Setelah merenung dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan berkata dalam hati, “Ia kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya.”

Jika Bujang Alai berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang Kuratauan justru membuat tumpul parang bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul seperti bagian belakangnya.

Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka sebab keduanya kebal. Akan tetapi, parang bungkul Bujang Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat tubuh Bujang Alai memar atau remuk di dalam. Akhirnya, Bujang Alai pun meninggal.

Tersiarlah berita tewasnya Bujang Alai di tangan Bujang Kuratauan. Kematian Bujang Alai itu membuat suasana menjadi panas. Keluarga Bujang Alai ingin menuntut balas sebab utang darah harus dibayar darah.

Pihak Bujang Kuratauan tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan jatuhnya korban. Siasat pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan sehingga perhatian musuh terpancing dalam gelap gulita itu.

Pihak Bujang Alai mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan kemarahan meluap. Pihak Bujang Kuratauan menghindarkan diri agar jangan terjadi bentrokan. Setelah sampai di puncak air terjun Mandin Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah.

Melihat nyala obor-obor itu pihak Bujang Alai menduga musuh menyimpang jalan sambil berlari menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada nyala obor yang dilemparkan.

Kelompok Bujang Alai pun langsung memintas menuju obor. Jalan pintas yang mereka perkirakan memang tidak ada, kecuali jurang menganga sehingga mereka pun jatuh di atas bongkah batu. Darah mereka mengucur di batu-batu dan menjadikan batu-batu merah warnanya, semerah kulit manggis masak. Penduduk menyebutnya Batu Manggu Masak.
Baca Seterusnya »»  

Pesugihan Buto Ijo

Jenis makhluk halus ini biasa dimintai bantuan oleh para dukun dan paranormal untuk mempercepat mendatangkan uang dan kekayaan materi dengan hebat. Saat kita bernegosiasi bisnis, mereka akan menggedor hati lawan bisnis untuk menyerahkan pada kita. Saat kita berjualan rumah, mobil dst mereka akan membantu kita mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Saat kita berjualan, maka pembeli akan dirayu buto ijo untuk membeli di di tempat kita. Tidak ke tempat penjual lain. Buto ijo bisa Anda temukan di bank-bank. Buto ijo adalah satpam gaib yang setia menunggui lembaga keuangan agar terbebas dari pencurian tuyul. Namun sayangnya sebagaimana yang terjadi saat kita bermufakat dan meminta sesuatu dengan jenis makhluk halus apapun maka mereka akan minta tumbal atau imbalan baik yang ringan maupun yang berat. Begitu juga dengan buto ijo, apabila kita sudah meminta bantuan maka mereka akan meminta imbalan baik berupa sesajen atau nyawa. Ya, di alam gaib pun tidak ada sesuatu yang gratis. Mereka akan bertransaksi dengan kita. Persis dunia bisnis era sekarang. Saya sama sekali tidak menyarankan Anda untuk berhubungan dengan Buto Ijo karena kebanyakan mereka memiliki watak yang brangasan, ngawur dan tidak terkontrol. Tapi bila Anda sekedar ingin membuktikan apa dan bagaimana kehidupan mereka dan cara mencari informasi langsung dengan bercakap-cakap dengannya, atau ingin membuktikan bahwa dunia gaib itu benar-benar ada untuk mendukung kepercayaan pada Gusti Allah SWT, maka amalannya sebagai berikut: Sesajen yang perlu disiapkan: kembang setaman, menyan arab, dupa cina (sebelas biji) dinyalakan sambil baca mantra berulang-ulang sampai buto ijo datang, ayam kampung (tujuh ekor), air putih di kendi, wewangian lain, madat yang mahal. Semuanya diletakkan di nampan anyaman bambu tradisional dan diletakkan di tempat beradanya buto ijo. Mantra yang biasa dibacakan: Hong ilaheng prayoga naniro,Aku si komo dadi aku teko ngajak dulurku si komo wurung, mayan-mayanku,bukakno plawangan gaibe... sedulurku den baguse kaki Buto Ijo lan den ayune nini Buto Ijo, Hu..hu..hu..hurip,jud maujudo ono ngarsaku heh dulurku, tak jaluk mreneyo,jabang bayiku... duwe perlu marang sliramu, siro teko-o,wujuto gage memoni aku… Sesaat kemudian menunggu, Buto Ijo akan datang dan memakan sesajen yang kita siapkan. Lalu, setelah kenyang mereka akan siap ngobrol atau melayani apapun permintaan konsumen.

Baca Seterusnya »»  

Pesugihan Kucing Hitam

Apa jadinya bila anak sendiri dijadikan tumbal iblis untuk memperoleh kekayaan di muka bumi ini. Kehidupan yang sulit, susah mencari kerja, patah semangat, ingin mendapat harta secara instan kadang membuat orang gelap mata. Kita seharusnya tahu bahwa apapun di dunia ini ada yang mengatur, Tuhan selalu menjaga setiap makhluknya untuk dapat hidup layak. Akan tetapi apa yang dilakukan Rusdi (nama samaran) bertolak belakang dari perintah dan kehendak Yang Di Atas.

Semua berawal dari gagalnya usaha Rusdi mencari pekerjaan, tanpa bekal pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki akan sulit mendapat pekerjaan sesuai yang diharapkan. Sudah beberapa kali Rusdi membuka usaha, akan tetapi selalu gagal dan gagal, mungkin yang membuat gagal karena dirinya hobi judi, setiap mendapat rezeki sedikit saja selalu mencari tempat berjudi. Sekeras apapun usaha yang dilakukan Rusdi, tidak dapat menolong dirinya, judi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Semua tahu, judi dilarang, akan tetapi tetap saja secara sembunyi- sembunyi Rusdi melakukannya. Alhasil, yang didapat tak lain adalah hancurnya keluarga, harapan dan cita-cita untuk hidup normal seperti kebanyakan orang lainnya.

Dengan rasa gontai ditelusurinya pematang sawah, Rusdi tidak menyadarinya, semua bisa begini karena akibat hobi judinya. "Apapun akan aku lakukan asal dapat uang," Rusdi berbicara sendiri.

Sementara itu istri Rusdi dan anaknya yang masih berumur 3,5 tahun bingung, sudah dua hari Rusdi tidak pulang rumah. Beberapa penagih utang berdatangan di rumahnya, kadang orang menagih sambil marah-marah, karena sudah lama utang tak terbayar. Rasa bersalah dan takut dirasakan istri Rusdi. Sementara itu Rusdi masuk hutan mendatangi makam yang ada di tengah hutan.

Menurut kabar angin, yang di makam di dalam hutan itu dulunya selama masih hidup adalah seorang dukun jahat yang suka mencelakai orang lain, kejahatanya sudah menjadi ceritera turun menurun di kampung tersebut. Di atas makam itu berdiri pohon yang sangat besar, menaungi siapa saja yang di bawahnya.

Rasa lelah membuat Rusdi tertidur di antara akar-akar pohon, dalam tidurnya Rusdi bermimpi, bertemu dengan perempuan yang sangat cantik, perempuan itu sanggup memberikan apa saja kepada Rusdi, tetapi dengan dua syarat, yang pertama Rusdi harus mau merawat seekor kucing hitam dan harus tidur bersama kucing itu, syarat yang kedua Rusdi harus mempersembahkan anak tunggalnya untuk korban kepada penunggu makam tua itu. Tanpa pikir panjang Rusdi pun menyanggupinya. "Aku sanggup..! aku sanggup..! aku sanggup..!",Rusdi berteriak, bersamaan itu terbangunlah dia dari tidurnya.

Di depannya seekor kucing hitam memperhatikan dirinya. "Nyai, aku akan melakukan apa saja, asalkan aku dapat kaya raya nyai," Rusdi berteriak –teriak. Tanpa diduga secepat kilat kucing hitam telah melompat dalam pangkuannya, diam sambil menjilat-jilat tangan Rusdi. "Pulanglah Rusdi, anak istrimu sudah menunggumu, mulai saat ini engkau menjadi abdiku, apapun yang engkau inginkan akan aku kabulkan, tapi ingat, sekali saja engkau menyia-nyiakan kucing itu, aku akan mengambil nyawamu," terdengar suara di antara pohon besar itu. "Baiklah, akan aku rawat kucing ini, seperti merawat diriku sendiri," sela Rusdi.

Sementara itu di rumah Rusdi sudah berkumpul banyak orang, istri Rusdi menangis sejadi-jadinya. Anak tunggalnya meninggal tanpa sebab yang jelas. Beberapa tetangga berdatangan dan mempersiapkan perlengkapan pemakaman, orang yang hadir di tempat tersebut berbisik-bisik menanyakan keberadaan Rusdi. "Bapak apa itu, sudah beberapa hari tidak tidur di rumah," timpal warga. "Memang Pak Rusdi itu orang tua yang tidak bertanggung jawab, tahunya hanya judi melulu," terdengar suara ibu yang lain.

Dalam perjalanan pulang, Rusdi dibuat binggung, beberapa orang menyongsong kedatangannya, bahkan ada yang mengatakan dirinya harus sabar dan tawakal menghadapi cobaan. Dilihatnya rumahnya telah dipenuhi tetangga-tetangganya. "Ada apa ini," suaranya lirih. Begitu melihat anaknya telah tiada, rasa sedih tak tertahankan. Dalam hati Rusdi mengaku, bahwa kematian anaknya adalah akibat perjanjiannya dengan penunggu pohon di tengah hutan itu.

Beberapa bulan kemudian perekonomian Rusdi melonjak dengan sangat cepat, rumah yang dulunya dari papan kini berubah menjadi gedung yang sangat megah dengan tembok yang dikelilingi pagar. Tampak dua buah mobil terparkir di serambi rumah, baju yang dulunya kumal berubah menjadi jas yang selalu berganti-ganti. Di rumah Rusdi juga terdapat ruangan khusus untuk menempatkan sesajian yang diperuntukkan kepada kucing hitam yang dia bawa dari hutan. Segala yang diinginkan keluarga ini tercapai sudah, uang tidak menjadi masalah.

Apa yang didapat Rusdi secara cepat, membuat para tetangganya menaruh curiga, apalagi Rusdi tidak punya pekerjaan tetap, yang lebih menyedihkan lagi di malam–malam tertentu sering terdengar anak kecil memanggil–manggil nama Rusdi, siapa lagi kalau bukan anaknya yang telah meninggal beberapa bulan yang lalu.

Melihat hal yang janggal itu, atas kesepakatan warga yang lain dilaporkan kepada kepala desa setempat. Mendapat laporan dari warganya, lurah desa Burhadi menyatakan kepada warganya untuk tidak terlalu berprasangka buruk dulu dan diharapkan warga tenang, dia akan menyelidiki apakah yang dilakukakan keluarga Rusdi keluar dari kaidah agama.

Walaupun Rusdi berusaha menutupi perbuatan maksiatnya, tetap saja beberapa tetangganya mengetahuinya. Sepandai- pandai tupai melompat akhirnya jatuh jua. Diam–diam beberapa warga memperhatikan setiap langkah yang diperbuat Rusdi. Melalui pembantunya apa yang telah diperbuat Rusdi mulai terkuak. "Benar Pak Lurah, juragan saya itu kalau makan dan tidur bersama kucing hitam, dan ada satu kamar yang khusus digunakan untuk sesaji, tidak boleh siapapun masuk kamar pribadi itu," tutur pembantu Rusdi.

Akan tetapi sebelum Lurah dan warga desa bertindak, terdengar khabar bahwa juragan Rusdi meninggal digigit binatang buas. Banyak orang yang tidak percaya, di desa tersebut tidak ada binatang buas yang ada hanya hewan sebangsa anjing, kucing peliharaan pendududk desa.

Berita meninggalnya juragan Rusdi cepat tersebar luas di kampung tersebut, beberapa orang bertanya–tanya, apa penyebab juragan yang kaya raya itu meninggal.

Dua hari setelah pemakaman Rusdi, Miarsih, istri Rusdi mendatangi lurah desanya. "Ampun Pak Lurah, suami saya meninggal saya penyebabnya, itu semua terjadi karena suami saya telah tega mengorbankan anaknya untuk tumbal mencari kekayaan. Kucing hitam yang ada di rumah saya itu yang membuat suami saya berbuat begitu. Terpaksa saya pukul dengan balok kayu hingga mati, akan tetapi ternyata matinya kucing itu membawa nyawa bagi suami saya," tutur Miarsih istri Rusdi.

Mendengar keterangan itu, Kepala desa tidak dapat berbuat apa-apa. Apa yang diperbuat Rusdi telah mendapat ganjarannya. Dari kejadian itu dapat menjadikan contoh warga desa yang lain, bahwa apa yang didapat dari yang tidak wajar, hanya membawa kesenangan sesaat dan berakhir penyesalan berkepanjangan.

Para tetangga Rusdi di hari-hari tertentu sering mendengar suara Rusdi sedang menangis minta tolong, tangisan Rusdi menyayat hati, minta ampun pada anak dan istrinya. Tetapi kejadian itu sudah menjadi kisah bagi warga desa. Kini Rusdi tinggal empertanggungjawabkan perbuatanya selama hidup di dunia di hadapan-Nya.

Baca Seterusnya »»  

Keris Berdiri

Tidak semua keris mempunyai keistimewaan sampai berdiri di samping sarongnya, hanya keris yang berbobot selaras dengan hukum alam secara vertikal dan horisontal yang menampilkan karya adiluhung dari budaya Nusantara. Pembuatannya memilikki perhitungan yang baku mulai dari seleksi bahan (besi, hulu dan jenis warangka), cara meracik, meramu dan menimpa besi berkali-kali dan proses akhir adalah memberikan nama sebagai pelengkap Sang Urip oleh keris tersebut… Sang Empu bukan hanya seorang ahli dalam membuat benda keris, tetapi mempunyai tingkat kerohanian yang sepadan dengan pendeta maupun seorang ilmuwan yang mengetahui rahasia gaib tentang 3 alam sekali pun, yaitu alam atas, alam tengah dan alam bawah.

Sebuah misteri yang belum terpecahkan, bagaimanakah para pendahulu membuat bangunan-bangunan yang monumental termasuk Borobodur, di Magelang Jawa Tengah dan Piramida di Mesir. Di jaman modernisasi masih meraba-raba mengenai teknologi beserta ilmu dan pengetahuan masa lalu.

Banyak missing link dalam ajaran sekaligus menjadi tahayul bagi banyak orang. Perkiraanku, tetap ada ilmiah di balik semua, kemahiran para Empu membuat keris merupakan sebuah misteri bagi khalayak.

Berdirinya keris mengisyaratkan balance of forces – keseimbangan antara kekuatan fisik, metafisika dan fisika, alam nyata dan alam gaib. Sang Empu mengetahui kode-kode rahasia alam yang bisa disalurkan melalui proses pembuatan keris, berupa pamor, dapur, pemilihan besi, hulu dan sebagainya. Kode-kode tersebut menjadi rumusan dalam tahapan pembuatan keris dan telah mencapai perwujudan cipta – karsa – rasa.

Faktor lainnya adalah spatial – time (ruang dan waktu), maksudnya adalah pemilihan tempat kerja dan waktu. Di Bali, mengerjakan karya dan lainnya termasuk perayaan Pura mengacu pada Kalender Hindu Bali. Membuat topeng di Bali, khususnya untuk dijadikan Pusaka Keluarga, pembuat topeng mendalami banyak proses penyucian dan pembersihan bathiniah termasuk ritual permohonan di Pura keluarga untuk menurunkan pewahyuhan dan titah. Berapa kali aktivitas semadi dilakukan di Pura Keluarga agar kekuatan yang mengalir kepada pembuat topeng merupakan restu yang mengarahkan seluruh jiwa dan raga demi kelancaran proses penciptaan.

Membuat Pura atau bangunan suci mengharuskan untuk berkonsultasi kepada Pedanda (Pendeta Hindu) guna mengetahui waktu yang tepat, dari proses awal sampai akhir bangunan itu jadi, ada proses berikutnya lagi yaitu menghidupkannya. Jika ada lokasi atau sebidang tempat yang ditemukan mengandung benang sejarah dan benda artifak, pertimbangan secepatnya adalah membangun palinggihan Pura. Kepercayaan adalah tempat tersebut perlu disucikan sehingga segala penampakan membutuhkan satu kesatuan harmonisasi dengan alam dan jagat lainnya yang memiliki sejarah.

Ada ajaran dari Sang Wiku, Albert Einstein mengenai teori relativitas dan ajaran lainnya termasuk mass, volume, weight. Sebuah keris ada pakemnya, berat, bentuk, besi dan lain-lain yang sekiranya mempunyai angka yang tepat sesuai ilmu pembuatan pedang. Albert Einstein mempunyai teori fisika, tapi Leluhur kita sudah menjadi Albert Einstein jaman dahulu, tidak perlu rumusan yang rumit, tapi hasilnya tidak semua orang bisa menjiplak. Leluhur kita sudah mengetahui kode-kode dan rahasia alam, secara turun-tumurun ada upaya untuk mewariskan ilmu keluhuran tersebut agar tidak punah. Soal waktu saja, budaya masa lalu akan kembali seperti dahulu dengan kesempurnaan pemahaman mengenai guna. Pengertian budaya adalah fungsi, berbeda dengan pelestarian budaya. Indonesia memilikki alam yang begitu indah, dan sudah seharusnya bisa mengembangkan budaya dan mengembalikan alamnya yang sudah mulai surut dan kering.

Misteri ini mempunyai ilmu tersendiri walau di dunia barat baru menunjukkan ilmu anti-gravitasi – mencari pola magnet yang bisa membuat besi terangkat beberapa inci dari dasar; Indonesia sudah memilikki budaya dan ilmu warisan Leluhur mengenai keseimbangan, ujung pedang seukuran diameter rambut dapat menunjukkan ada ilmu di baliknya semua, dan ada ilmiah yang belum terinci dan bisa dijelaskan.

Fenomena keris berdiri secara bersamaan menunjukan idealisme kebersatuan. Bila mana tenaga yang memancar dari beberapa keris terlalu kuat bagi yang lainnya, terjadi perlawanan dan saling menjatuhkan. Namun sebaliknya, jika kekuatan di antara keris mempunyai kesejajaran, penampakan kekuatan saling mendukung yang menciptakan keharmonisan. Jika kita mampu berdiri di atas tanah dengan kebanggaan melalui budaya sendiri, lebih elok dan lebih berarti daripada berbicara tanpa dasar yg akan membuat kita kehilangan akal.

Baca Seterusnya »»  

Santet

Santet, teluh, sihir atau apapun namanya adalah energi negatif yang mampu merusak kehidupan seseorang : berupa terkena penyakit, kehancuran rumah tangga hingga sampai dengan kematian.

Berbagai penyelidikan pun telah banyak dilakukan ilmuwan terhadap fenomena santet dan sejenisnya. Tentu metode penelitian para ilmuwan agak berbeda dengan agamawan. Jika para agamawan memakai rujukan dalil2 kitab suci (ayat kitabiyah), maka para ilmuwan menggunakan ayat kauniyah (alam semesta) untuk menyelidiki santet ini.

Penyelidikan menggunakan ayat kauniyah tentunya harus memiliki metode yang s ifa tnya ilmiah, mulai dari mencari kasus2 santet, tipe2 santet, gejala, akibat dlsb. Lalu kemudian dilakukan berbagai eksperimen untuk penyembuhannya. Salah satu kesimpulan/pendapat yang mengemuka adalah santet itu sebenarnya adalah energi. Kenapa dalam kasus santet bisa masuk paku, kalajengking, penggorengan dll bisa dijelaskan melalui proses materialisasi energi.

Nah, santet dan mahluk halus itu ternyata energi yang bermuatan (-). Bumipun ternyata memiliki muatan (-). Dalam hukum C Coulomb dikatakan bahwa muatan yang senama akan saling tolak menolak dan muatan yang tidak senama justru akan tarik menarik. Rumusnya :

F = K * ((Q1*Q2)/R^2)

F = gaya tarik menarik

K = Konstanta

Q1, Q2 = muatan

R = jarak

Nah karena demit alias mahluk halus dan bumi itu sama-sama bermuatan (-) makannya para demit itu tidaklah menyentuh bumi. Orang tua jaman dulu juga sering mengingatkan jika bicara dgn orang yg tidak dikenal pd malam hari maka lihatlah apakah kakinya menapak ke bumi atau tidak. Jika tidak maka ia berarti golongan mahluk halus.

Begitu juga dengan santet yang ternyata bermuatan (-) maka secara fisika bisa ditanggulangi atau ditangkal dengan hukum C Coulomb ini. Saya tidak membahas metode melawan santet dengan zikir karena sudah banyak dibahas tapi saya menawarkan alternatif lainnya yg bisa bersifat “standalone” (utk non muslim) maupun digabungkan dgn zikir (utk muslim).

Beberapa Metodenya :

Cara 1
Tidurlah dilantai yang langsung menyentuh bumi. Boleh gunakan alas tidur asal tidak lebih dari 15 Cm. Dengan tidur dilantai maka santet kesulitan masuk karena terhalang muatan (-) dari bumi.

Cara 2
Membuat alat elektronik yang mampu memancarkan gelombang bermuatan (-). Mahluk halus, jin, santet dll akan menjauh jika terkena getaran alat ini. Tapi Kelemahan alat ini tidak mampu mendeteksi mahluk baik dan jahat. Jadi, alat ini akan “menghajar” mahluk apa saja. Jika ada jin baik dan jin jahat maka keduanya akan “diusir” juga.

Cara 3
Melakukan gerakan senam khusus dimana tapak kaki harus menyentuh bumi. Gerakan senam ini hanya punya satu gerakan inti saja jadi mudah sekali dilakukan oleh anak2 hingga orang tua. Selain utk penyembuhan berbagai penyakit medis yg sulit sembuh, senam ini cukup banyak menyelesaikan kasus santet juga. Ini murni senam, tanpa mantra atau pernafasan khusus.

Cara 4
Menanam pohon atau tanaman yang memiliki muatan (-). Bagi yang peka spiritual, aura tanaman ini adalah terasa “dingin”. Pohon yang memiliki muatan (-) diantaranya : dadap, pacar air, kelor, bambu kuning dll. Tanaman sejenis ini paling tidak disukai mahluk halus. Biasanya tanaman bermuatan (-) ini tidaklah mencengkram terlalu kuat di tanah (bumi) dibandingkan dengan tanaman bermuatan (+)

Lain halnya dengan pohon yang memiliki muatan (+) seperti pohon asem, beringin, belimbing, kemuning, alas randu dll maka phohon sejenis ini tentu akan menarik mahluk halus dan seringkali dijadikan tempat tinggal. Hal ini dikarenakan ada gaya tarik menarik antara pohon (+) dan mahluk halus (-) sesuai hukum C Coulomb.
Baca Seterusnya »»  

Resep Bolu Gulung Kukus

Paduan coklat dan vanili membuat Bolu Gulung Kukus ini memberikan aroma rasa tersendiri. Enak dinikmati keluarga usai minum segelas air putih di saat buka puasa. Coba saja...!

Bahan Resep Bolu Gulung Kukus :
• 4 butir Telur
• 100 gram Gula pasir
• 5 gram Coklat pasta
• 5 gram Cake emulsifier
• 90 gram Terigu Roda Biru
• 20 gram Tepung maizena
• 2 gram Vanili
• 100 gram Margarin cair

Bahan Hiasan:
• 75 gram Cherry merah
• 100 gram Butter cream

Bahan Hiasan:
• 200 gram Chocolate compound
• 75 gram Margarin


Cara Membuat Bolu Gulung Kukus :
1. Kocok telur, gula pasir, coklat pasta, dan cake emulsifier sampai mengembang dan kaku.
2. Ayak terigu, maizena, dan vanili; masukkan ke adonan di atas. Aduk rata.
3. Masukkan margarin cair. Aduk rata.
4. Tuang adonan ke loyang 24x24 cm (jadi 2 loyang) yang telah dioles dengan shortening putih dan dialasi dengan kertas roti.
5. Kukus di langseng (yang airnya sudah mendidih) selama ± 20 menit.
6. Angkat, keluarkan dari cetakan, lalu poles dengan vla dan gulung.

Bahan Vla:
• 200 gram Santan cair
• 20 gram Maizena
• 80 gram Gula pasir
• 2 gram Garam
• 1 butir Telur
• 2 gram Vanili

Cara Membuat Vla:
Campur semua bahan lalu masak sambil terus diaduk sampai kental (meletup-letup). 


Baca Seterusnya »»  

Tembang Cianjuran

Saat ini, Tembang Cianjuran kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah pertunjukkan kesenian pada acara-acara penyambutan tamu bagi masyarakat Sunda, seperti pernikahan ataupun khitanan. Alunan suara sekar (sinden) yang merdu diiringan instrumen kecapi dan suling membuat suasana lebih anggun, santun, khidmat dan penuh dengan ramah-tamah. Sehigga para tamu yang datang pasti akan hanyut terbawa suasana yang ada. Jika dikatakan Tembang Cianjuran adalah musik sunda yang memiliki warna musik begitu mempesona, anggun, lembut dan halus. Hal tersebut memang sangat erat hubungannya dengan cikal bakal dan perkembangan Tembang Cianjuran.

Seni Tembang Cianjuran lahir dari hasil cipta rasa dan karsa Bupati Cianjur IX, R. Aria Adipati Kusumaningrat (1834-1861), atau lebih sering dikenal dengan sebutan “Dalem Pancaniti”. Namun dalam penyempurnaannya hasil ciptaannya tersebut, dalem Pancaniti dibantu oleh seniman kabupaten yaitu: Rd. Natawiredja, Aem dan Maing Buleng. Ketiga orang inilah yang kemudian mendapat izin Dalem Pancaniti untuk menyebarkan lagu-lagu Cianjuran.

Pada zaman pemerintahan R.A.A Prawiradiredja II (1861-1910), seni Tembang Cianjuran disempurnakan lagi aturannya. Dengan ditambah iringan suara kecapi dan suling, maka lahirlah Tembang Cianjuran yang dikenal sampai saat ini.

Tembang Cianjuran pada awalnya merupakan musik yang penuh prestise para bangsawan. Oleh sebab itu, kehadiran Tembang Cianjuran pada awalnya diperuntukkan bagi para pejabat atau masyarakat kelas tinggi. Dan karena itu juga tempat pertunjukkannya selalu berada pada pendopo-pendopo kabupaten. Biasanya untuk acara-acara resmi penyambutan tamu bupati atau upacara-upacara resmi hari besar nasional.

Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat Tembang Cianjuran telah menjadi begitu akrab dimasyarakat. Tembang Cianjuran yang tadinya hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan, berkembang menjadi musik yang berakar pada tradisi kerakyatan. Kini, Tembang Cianjuran sangat mudah ditemui dalam acara pesta-pesta perkawinan masyarakat cianjur (Sunda).

Penikmat Tembang Cianjuran memang tidak sebanyak jenis kesenian lain, seperti musik pop. Tetapi peminat dan penikmat Tembang Cianjuran cukup signifikan. Beberapa seniman seniman Tembang Cianjuran mengembangkan yang tidak terbatas lagi pada Kacapi Suling Tembang Cianjuran tetapi juga Kacapi Suling Pop Cianjuran.

Meski ditelan badai modernasi Tembang Cianjuran termasuk jenis kesenian yang masih mendapat respon positif dari masyarakat global, kehadirannya diterima baik oleh semua pihak. Baik masyarakat lokal maupun internasional ikut serta melestarikan warisan budaya sunda ini. Buktinya, sampai saat ini masih banyak dijumpai para mahasiswa asing yang serius mempelajari kesenian Tembang Cianjuran. Beberapa diantaranya adalah mahasiswa berasal Amerika Serikat, Norwegia , Eropa, Jepang, dan negara Asia lainnya.

Mempelajari Seni Sunda Tembang Cianjuran tidaklah terlalu sulit, walupun tidak semudah mempelajari Seni Sunda Angklung misalnya. Tingkat kesulitan mempelajari Tembang Cianjuran bergantung pada grade atau level saat mereka mencoba memainkan alat musik tersebut. Seorang pemula yang belum pernah sama sekali memainkan alat musik tembang kecapi suling cianjuran kira-kira akan memakan waktu 3-6 bulan untuk memainkan jenis musik yang diinginkan.

Rasanya kurang pas jika seseorang hanya mempelajari bagaimana memainkan instrumen-instrumen dan olah vokal Tembang Cianjuran saja. Sebab seni ini memiliki kekayaan budaya yang tersimpan. Salah satunya adalah kandungan arti yang tersimpan di balik syair-syairnya. Dalam setiap syair-syairnya sang penikmat dapat menemukan sebuah vocal wisdom (kearifan vokal) berupa alam yang harmoni, keseimbangan, rendah hati, kasih sayang, kebijakan dll. Peminat Tembang Cianjuran dituntut untuk mengungkap pesan-pesan yang tersimpan dalam isi syairnya. Tembang Cianjuran kini menjadi pembeda di tengah hingar-bingar budaya pop yang semakin mengglobal.

Tembang Cianjuran sangat kental dengan identitas kesundaannya. Akan sangat disayangkan bila para generasi muda mulai meninggalkan kesenian ini. Di tengah krisis kehilangan identitas bangsa ini, ada sebuah pertanyaan yang patut di kemukakan: Jika orang asing dengan serius mempelajari Tembang Sunda Cianjuran, masih adakah alasan bagi generasi muda untuk meninggalkannya?.

(Edri Wilastono, S.Sos., Pelaksana Seksi Pelayanan & Informasi Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Cianjur)
Baca Seterusnya »»  

Seni Buhun Kian Ditinggal

Berbagai jenis kesenian tradisional asli Sunda khususnya seni Sunda buhun nyaris punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun terus kehilangan penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat tempat dan dihargai publik, serta terdesak seni pop modern yang dianggap lebih menarik.

Guru Besar Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Yus Rusyana mengatakan, kondisi tradisional Sunda buhun saat ini secara berangsur mulai menghilang. “Dewasa ini generasi muda lebih menyenangi seni yang datangnya dari luar dibandingkan kesenian asli milik bangsa sendiri,” ujarnya, dalam acara Rembuk Tokoh Sunda, Menggali Akar Budaya Sunda Buhun, Senin (14/3) di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Jalan R.E. Martadinata 209 Bandung.

Acara itu dihadiri sejumlah tokoh seni dan budayawan Sunda, seperti Prof. Saini KM, Prof. Dr. Karna Yudibrata, Dra. Hj. Popong Otje Djunjunan, Nano S., Euis Suhaenah M. Hum, dan Pengurus PB Pusat Pasundan Daum.

Kang Yus –demikian Yus Rusyana akrab disapa– menegaskan bahwa saat ini seni budaya Sunda terus mengalami pergeseran. Bahkan seni Sunda buhun yang merupakan seni leluhur sudah sulit ditemui. Padahal, seni budaya Sunda buhun dikenal sangat kaya nilai. Mulai dari hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan mausia lain, hingga hubungan manusia dengan alamnya.

Untuk itu, Yus sangat mendukung berbagai upaya pelestarian seni budaya Sunda. “Jika tidak diantisipasi dengan langkah-langkah pelestarian, kekayaan tradisi tersebut akan tinggal menjadi sejarah,” ujarnya.

Sementara Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan mengatakan, untuk membangkitkan gairah para pelaku seni budaya Sunda buhun perlu diberikan semacam rangsangan. “Selama ini penghargaan terhadap pelaku seni sangat jarang, padahal para seniman tidak meminta imbalan berupa materi terhadap upayanya melestarikan seni turun temurun. Mereka hanya ingin ada semacam pengakuan dari pemerintah,” ujarnya.

Seni budaya Sunda buhun semakin ditinggalkan masyarakat karena dinilai monoton sehingga tidak memiliki daya jual yang menarik. Kondisi itu diperparah oleh tidak adanya dukungan publik dan modal dari pemerintah sehingga jarang bisa ditampilkan lagi di tengah masyarakat.

Untuk melestarikan seni budaya sunda buhun yang terus menghilang, Ny. Popong mengusulkan agar diselenggarakan kegiatan semacam ekshibisi atau tontonan secara resmi. Seni yang digelar tidak hanya berupa seni ibing (gerak–red.) tetapi juga seni tabeuh (pukul), maupun seni sora (suara).

Selain itu untuk menentukan bahwa seni tersebut merupakan seni Sunda buhun perlu ditetapkan kriteria. “Untuk menentukannya saat ini sangat sulit karena seni Sunda sudah banyak mengadopsi seni dari luar,” ujarnya.

Hal senada dikatakan seniman, budayawan dan guru seni di STSI Bandung, Nano S.. Ia mengatakan, seniman Sunda buhun dewasa ini sangat tidak dihargai lagi, tidak saja oleh masyarakatnya sendiri tetapi juga oleh pemerintah. “Kalau memang masih mendapat tempat, bila sedang pentas pasti akan ditonton. Pemerintah daerah pun sering menganggap para seniman itu menjadi beban,” ujarnya.

Dikatakan Nano, dalam beberapa tahun kebelakang seni budaya Sunda buhun dapat dipastikan akan menjadi barang kuno bila tidak segera dilestarikan dan dikembangkan kembali. “Untuk itu kiranya dalam memahami seni budaya Sunda buhun tidak dikaitkan dengan akidah atau agama yang selama ini sering menjadi pagar antara boleh dan tidak,” ujar Nano. 

Baca Seterusnya »»  
Warta Loka | Seribu Satu Catatan Dalam Dunia Penuh Warna
© All Rights Reserved | Best View With Mozilla Firefox