Dalam pelbagai pepatah adat di Minangkabau, sudah menjadi pengetahuan orang banyak bahwa ada dua kelarasan adat yang manyoritas dianut masyarakat hukum adat di Minangkabau, yakni kelarasan adat Koto Peliang dan Bodi Caniago. Di samping itu, kita juga mengenal adanya kelarasan adat Batang Bangkaweh yang tidak menganut adat Koto Peliang maupun Bodi Caniago. Konon kabarnya hanya ada satu nagari yang menganut kelarasan adat Batang Bangkaweh ini, yakni nagari asa di Pariangan, Padang Panjang.
Dalam banyak pantun dan mamang adat kita diperkenalkan kepada Datuek Ketumanggungan sebagai pencipta kelarasan adat Koto Peliang dan Datuek Perpatih Nan Sabatang sebagai pencetus kelarasan Badi Caniago yang bisa dikatakan sebagai koreksi atas kekurangan-kekurangan daripada kelarasan adat yang diperkenalkan oleh Datuek Ketumanggungan, sampai dengan terjadinya peristiwa penikaman batu di situs Batu Batikam, yang menandai pemisahan dari kedua kelarasan adat tadi. Seiring dengan berjalannya waktu, satu persatu dari nagari yang dibuka dan dibangun oleh masyarakat menundukkan diri pada salah satu kelarasan adat Koto Peliang atau Bodi Caniago sampai kepada pembentukan persekutuan beberapa nagari dalam penentuan kelarasan adat yang dipakai. Penentuan kelarasan adat tersebut ditandai dengan reka bentuk balai-balai adat, bentuk rumah gadang, susunan suku yang menetap di dalam nagari termasuk kedudukan para ninik mamak yang ditabalkan untuk memerintah nagari, walau tidak kita pungkiri jika kedua kelarasan adat itu kemudian saling berinteraksi, membaur dan menggabungkan nilai-nilai yang dianut pada tiap-tiap nagari.
Sebagai junjungan kelarasan adat Badi Caniago, Datuek Perpatih Nan Sabatang mewariskan fungsi dan legitimasi kekuasaannya kepada Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum. Hal yang sama juga berlaku kepada Datuek Ketumanggungan yang mewariskan fungsi dan legitimasi kekuasaannya kepada Datuek Bandaharo Putih di Sungai Tarab. Sekarang setelah para pencipta dua kelarasan adat tadi wafat, semestinya kita hanya mengenal Datuek Bandaharo Kunieng sebagai junjungan kelarasan adat Bodi Caniago dan Datuek Bandaharo Putieh sebagai junjungan kelarasan adat Koto Peliang. Khusus untuk Datuek Bandaharo Putieh, kita akan juga mengenal fungsi adatnya sebagai Tuanku Titah atau Panitahan di Sungai Tarab, yang masuk sebagai anggota Basa Ampek Balai di dalam susunan dewan menteri kerajaan Minangkabau di bawah Rajo Alam.
Segala sengketa adat yang berasal dari nagari-nagari yang menganut kelarasan Bodi Caniago pada gilirannya akan bermuara kepada Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum, sebelum diserahkan kepada Rajo Adat di Buo jika para pihak tidak puas dengan keputusan Datuek Bandaharo Kunieng. Selanjutnya, hal yang sama juga berlaku untuk nagari-nagari yang memakaikan kelarasan adat Koto Peliang yang akan membawa sengketa adatnya kepada Datuek Bandaharo Putieh di Sungai Tarab, sebelum naik banding kepada Rajo Adat di Buo. Jelas dalam hal ini Rajo Adat di Buo hanyalah lembaga banding atas sengketa adat di Minangkabau di mana kemudian kita ketahui bahwa simbol warna dari kedua datuek bandaharo menjadi warna marawa gadang (bendera kerajaan) Rajo Adat di Buo yang hanya menggunakan warna kuning dan putih sebagai warna marawanya dan dibuat lebih besar dari marawa tiga warna, hitam, kuning dan merah, pada setiap alek resmi kerajaan.
Kedudukan balai-balai adat Datuek Bandaharo Kunieng adalah di Limo Kaum di mana kita mengenal Limo Kaum sebagai persekutuan lima buah nagari yang terdiri dari nagari-nagari Limo Kaum, Cubadak, Baringin, Labuh dan Parambahan. Limo Kaum adalah persekutuan adat nagari yang paling awal mengakui legitimasi kekuasaan Datuek Perpatih Nan Sabatang dan menganut kelarasan adat Bodi Caniago. Itu sebabnya kita mengenal persekuatuan adat 5 nagari di Limo Kaum ini sebagai Limo kaum Nan Tuo, karena dalam perkembangan selanjutnya kita mengetahui adanya persekutuan adat 5 nagari lainnya yang kita sebut Limo Kaum Nan Tangah di Sungayang dan Limo Kaum Nan Bungsu di Lubuk Jantan. Nagari-nagari yang berhimpun dengan Limo Kaum Nan Tangah adalah Sungayang, Tanjung, Minangkabau, Sungai Patai dan Andaleh Baruh Bukik dengan balai-balai adatnya terletak di Sungayang. Sementara itu 5 nagari yang bersekutu dengan Lima Kaum Nan Bungsu adalah Lubuk Jantan, Tepi Selo, Balai Tangah, Tanjung Bonai dan Batu Bulek yang balai-balai adatnya di Lubuk Jantan, yang kemudian dipindahkan ke Balai Tangah pada jaman pemerintahan Nan Dipertuan Hela Perhimpunan Sultan Seri Maharaja Diraja sebagai Raja Adat di Buo, itu sebabnya ada mamang adat yang mengatakan “balai tangah balai perhimpunan.
Sekarang wilayah persekutuan adat 5 nagari Limo Kaum Nan Bungsu saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Lintau Buo Utara. Sebelumnya kita hanya mengenal Kecamatan Lintau Buo saja, yang melingkupi daerah IV Koto di Bawah dan V Koto di Ateh. Pada awalnya kedua daerah ini menganut dua kelarasan adat yang berbeda yakni kelarasan adat Koto Peliang di IV Koto di Bawah dan kelarasan adat Bodi Caniago di V Koto di Ateh. Namun lama kelamaan daerah V Koto di Ateh mulai terpengaruh dengan kelarasan adat Koto Peliang yang melahirkan mamang adat yang berbunyi “IV Koto di Bawah nan Barajo dan V Koto di ateh nan Basutan dan balai-balai adatnya dipindahkan ke Balai Tangah dengan menobatkan Datuek Simarajo di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan sebagai pucuek adat Limo Kaum Nan Bungsu di V Koto di Ateh, yang dibantu oleh 5 datuek bendaharo dari masing-masing nagari, yaitu:
1. Datuek Bandaharo Sati dari Lubuk Jantan,
2. Datuek Bandaharo Ratieh dari Tepi Selo,
3. Datuek Bandaharo Kasu dari Balai Tangah,
4. Datuek Bandaharo Sabaleh dari Batu Bulek dan
5. Datuek Bandaharo Hitam dari Tanjung Bonai.
Dalam sejarah adat nagari Limo Kaum Nan Bungsu atau V Koto di Ateh, kedudukan Datuek Simarajo di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan sebagai pucuk adat nagari sedikit bertentangan dengan dasar-dasar kelarasan adat Bodi Caniago di mana menurut kelarasan adat Bodi Caniago, para Datuek dan niniek mamak “duduknyo samo randah, tagaknyo samo tinggi. Apalagi dengan pemberian gelar “Tuanku Mudo Nan Godang kepada Datuek Simarajo ini sudah merupakan sifat khas dari adat istiadat dalam istana kerajaan yang memang sudah lazim diterima oleh kelarasan adat Koto Peliang. Belum lagi reka bentuk payung adat dan marawa yang ditetapkan sebagai kebesaran adat Datuek Simarajo Tuanku Mudo Nan Godang, sudah menjadikan Datuek Simarajo sama dengan rajo, sehingga lahirlah mamang adat “IV Koto di Bawah nan Barajo, V Koto di Ateh Nan Basutan, dengan artian Datuek Simarajo Tuanku Mudo Nan Godang di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan adalah sutan untuk persekutuan adat nagari di Limo Kaum Nan Bungsu.
Dalam kedudukannya sebagai pucuek adat V Koto di Ateh, Datuek Simarajo juga pucuek adat di dalam nagari Lubuk Jantan itu sendiri. Kedudukan Datuek Simarajo sebagai pucuek adat di Limo Kaum Nan Bungsu tidak serta merta membuat daerah V Koto di Ateh lepas dari kendali dan pengawasan Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum Nan Tuo. Segala sengketa adat yang akan dibawa banding dalam peradilan adat kelarasan Bodi caniago, tetap harus dibawa oleh Datuek Simarajo ke hadapan Datuek Bandaharo Kunieng sebagai pemegang legitimasi dan kekuasaan tertinggi kelarasan Bodi Caniago. Saat Datuek Simarajo sedang pergi meninggalkan nagari Lubuk Jantan, maka ditunjuklah Datuek Bijayo dari pesukuan Caniago Seberang Lurah sebagai “Tuanku Mudo Nan Ketek, di mana fungsinya sebagai wakil dari Tuanku Mudo Nan Godang dalam urusan adat di dalam nagari Lubuk Jantan dan juga wilayah V Koto di Ateh.
Dalam banyak pantun dan mamang adat kita diperkenalkan kepada Datuek Ketumanggungan sebagai pencipta kelarasan adat Koto Peliang dan Datuek Perpatih Nan Sabatang sebagai pencetus kelarasan Badi Caniago yang bisa dikatakan sebagai koreksi atas kekurangan-kekurangan daripada kelarasan adat yang diperkenalkan oleh Datuek Ketumanggungan, sampai dengan terjadinya peristiwa penikaman batu di situs Batu Batikam, yang menandai pemisahan dari kedua kelarasan adat tadi. Seiring dengan berjalannya waktu, satu persatu dari nagari yang dibuka dan dibangun oleh masyarakat menundukkan diri pada salah satu kelarasan adat Koto Peliang atau Bodi Caniago sampai kepada pembentukan persekutuan beberapa nagari dalam penentuan kelarasan adat yang dipakai. Penentuan kelarasan adat tersebut ditandai dengan reka bentuk balai-balai adat, bentuk rumah gadang, susunan suku yang menetap di dalam nagari termasuk kedudukan para ninik mamak yang ditabalkan untuk memerintah nagari, walau tidak kita pungkiri jika kedua kelarasan adat itu kemudian saling berinteraksi, membaur dan menggabungkan nilai-nilai yang dianut pada tiap-tiap nagari.
Sebagai junjungan kelarasan adat Badi Caniago, Datuek Perpatih Nan Sabatang mewariskan fungsi dan legitimasi kekuasaannya kepada Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum. Hal yang sama juga berlaku kepada Datuek Ketumanggungan yang mewariskan fungsi dan legitimasi kekuasaannya kepada Datuek Bandaharo Putih di Sungai Tarab. Sekarang setelah para pencipta dua kelarasan adat tadi wafat, semestinya kita hanya mengenal Datuek Bandaharo Kunieng sebagai junjungan kelarasan adat Bodi Caniago dan Datuek Bandaharo Putieh sebagai junjungan kelarasan adat Koto Peliang. Khusus untuk Datuek Bandaharo Putieh, kita akan juga mengenal fungsi adatnya sebagai Tuanku Titah atau Panitahan di Sungai Tarab, yang masuk sebagai anggota Basa Ampek Balai di dalam susunan dewan menteri kerajaan Minangkabau di bawah Rajo Alam.
Segala sengketa adat yang berasal dari nagari-nagari yang menganut kelarasan Bodi Caniago pada gilirannya akan bermuara kepada Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum, sebelum diserahkan kepada Rajo Adat di Buo jika para pihak tidak puas dengan keputusan Datuek Bandaharo Kunieng. Selanjutnya, hal yang sama juga berlaku untuk nagari-nagari yang memakaikan kelarasan adat Koto Peliang yang akan membawa sengketa adatnya kepada Datuek Bandaharo Putieh di Sungai Tarab, sebelum naik banding kepada Rajo Adat di Buo. Jelas dalam hal ini Rajo Adat di Buo hanyalah lembaga banding atas sengketa adat di Minangkabau di mana kemudian kita ketahui bahwa simbol warna dari kedua datuek bandaharo menjadi warna marawa gadang (bendera kerajaan) Rajo Adat di Buo yang hanya menggunakan warna kuning dan putih sebagai warna marawanya dan dibuat lebih besar dari marawa tiga warna, hitam, kuning dan merah, pada setiap alek resmi kerajaan.
Kedudukan balai-balai adat Datuek Bandaharo Kunieng adalah di Limo Kaum di mana kita mengenal Limo Kaum sebagai persekutuan lima buah nagari yang terdiri dari nagari-nagari Limo Kaum, Cubadak, Baringin, Labuh dan Parambahan. Limo Kaum adalah persekutuan adat nagari yang paling awal mengakui legitimasi kekuasaan Datuek Perpatih Nan Sabatang dan menganut kelarasan adat Bodi Caniago. Itu sebabnya kita mengenal persekuatuan adat 5 nagari di Limo Kaum ini sebagai Limo kaum Nan Tuo, karena dalam perkembangan selanjutnya kita mengetahui adanya persekutuan adat 5 nagari lainnya yang kita sebut Limo Kaum Nan Tangah di Sungayang dan Limo Kaum Nan Bungsu di Lubuk Jantan. Nagari-nagari yang berhimpun dengan Limo Kaum Nan Tangah adalah Sungayang, Tanjung, Minangkabau, Sungai Patai dan Andaleh Baruh Bukik dengan balai-balai adatnya terletak di Sungayang. Sementara itu 5 nagari yang bersekutu dengan Lima Kaum Nan Bungsu adalah Lubuk Jantan, Tepi Selo, Balai Tangah, Tanjung Bonai dan Batu Bulek yang balai-balai adatnya di Lubuk Jantan, yang kemudian dipindahkan ke Balai Tangah pada jaman pemerintahan Nan Dipertuan Hela Perhimpunan Sultan Seri Maharaja Diraja sebagai Raja Adat di Buo, itu sebabnya ada mamang adat yang mengatakan “balai tangah balai perhimpunan.
Sekarang wilayah persekutuan adat 5 nagari Limo Kaum Nan Bungsu saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Lintau Buo Utara. Sebelumnya kita hanya mengenal Kecamatan Lintau Buo saja, yang melingkupi daerah IV Koto di Bawah dan V Koto di Ateh. Pada awalnya kedua daerah ini menganut dua kelarasan adat yang berbeda yakni kelarasan adat Koto Peliang di IV Koto di Bawah dan kelarasan adat Bodi Caniago di V Koto di Ateh. Namun lama kelamaan daerah V Koto di Ateh mulai terpengaruh dengan kelarasan adat Koto Peliang yang melahirkan mamang adat yang berbunyi “IV Koto di Bawah nan Barajo dan V Koto di ateh nan Basutan dan balai-balai adatnya dipindahkan ke Balai Tangah dengan menobatkan Datuek Simarajo di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan sebagai pucuek adat Limo Kaum Nan Bungsu di V Koto di Ateh, yang dibantu oleh 5 datuek bendaharo dari masing-masing nagari, yaitu:
1. Datuek Bandaharo Sati dari Lubuk Jantan,
2. Datuek Bandaharo Ratieh dari Tepi Selo,
3. Datuek Bandaharo Kasu dari Balai Tangah,
4. Datuek Bandaharo Sabaleh dari Batu Bulek dan
5. Datuek Bandaharo Hitam dari Tanjung Bonai.
Dalam sejarah adat nagari Limo Kaum Nan Bungsu atau V Koto di Ateh, kedudukan Datuek Simarajo di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan sebagai pucuk adat nagari sedikit bertentangan dengan dasar-dasar kelarasan adat Bodi Caniago di mana menurut kelarasan adat Bodi Caniago, para Datuek dan niniek mamak “duduknyo samo randah, tagaknyo samo tinggi. Apalagi dengan pemberian gelar “Tuanku Mudo Nan Godang kepada Datuek Simarajo ini sudah merupakan sifat khas dari adat istiadat dalam istana kerajaan yang memang sudah lazim diterima oleh kelarasan adat Koto Peliang. Belum lagi reka bentuk payung adat dan marawa yang ditetapkan sebagai kebesaran adat Datuek Simarajo Tuanku Mudo Nan Godang, sudah menjadikan Datuek Simarajo sama dengan rajo, sehingga lahirlah mamang adat “IV Koto di Bawah nan Barajo, V Koto di Ateh Nan Basutan, dengan artian Datuek Simarajo Tuanku Mudo Nan Godang di Rumah Tabieng, Lubuk Jantan adalah sutan untuk persekutuan adat nagari di Limo Kaum Nan Bungsu.
Dalam kedudukannya sebagai pucuek adat V Koto di Ateh, Datuek Simarajo juga pucuek adat di dalam nagari Lubuk Jantan itu sendiri. Kedudukan Datuek Simarajo sebagai pucuek adat di Limo Kaum Nan Bungsu tidak serta merta membuat daerah V Koto di Ateh lepas dari kendali dan pengawasan Datuek Bandaharo Kunieng di Limo Kaum Nan Tuo. Segala sengketa adat yang akan dibawa banding dalam peradilan adat kelarasan Bodi caniago, tetap harus dibawa oleh Datuek Simarajo ke hadapan Datuek Bandaharo Kunieng sebagai pemegang legitimasi dan kekuasaan tertinggi kelarasan Bodi Caniago. Saat Datuek Simarajo sedang pergi meninggalkan nagari Lubuk Jantan, maka ditunjuklah Datuek Bijayo dari pesukuan Caniago Seberang Lurah sebagai “Tuanku Mudo Nan Ketek, di mana fungsinya sebagai wakil dari Tuanku Mudo Nan Godang dalam urusan adat di dalam nagari Lubuk Jantan dan juga wilayah V Koto di Ateh.