Jika kita menyusuri Sungai Kapuas dari kota Pontianak menuju kota
Sanggau, di antara kota Tayan dan kota Sanggau kita akan melewati dua
buah pulau yang berjejer di tengah Sungai Kapuas. Bentuk kedua pulau itu
menyerupai dua buah kapal yang sedang berlomba. Oleh karena itu,
penduduk menamai kedua pulau ini Pulau Belumbak. Belumbak dalam bahasa
daerah pedalaman Kalimantan Barat berarti “berlomba”.
Menurut
cerita para leluhur, kedua pulau itu asalnya dari dua buah kapal milik
dua bersaudara. Pada zaman dahulu, di tempat kedua pulau itu berada,
terdapat sebuah kota. Walaupun kota itu tidak begitu besar, penduduknya
cukup banyak dan ramai. Di pinggiran kota itu hiduplah seorang janda
miskin dengan dua orang anak laki-lakinya. Ayah mereka telah meninggal
dunia. Tiap hari mereka hanya mencari kayu bakar yang mereka jual kepada
orang kampung demi sesuap nasi. Dari tahun ke tahun, mereka menjalani
kehidupan semacam itu hingga kedua anak itu tumbuh menjadi dewasa.
Ketika
kedua anak itu telah menginjak dewasa, timbullah keinginan mereka untuk
merantau ke negeri seberang. Mereka ingin mengadu nasib di perantauan
dengan harapan nasibnya dapat berubah. Sang ibu berat sekali melepaskan
kedua anaknya. Akan tetapi, keinginan kedua anaknya tidak dapat
dihalangi. Akhirnya, sang ibu terpaksa mengabulkan keberangkatan kedua
anaknya itu. Dua ekor anak ayam jantan yang menjadi milik kedua anak itu
dititipkan kepada ibunya agar dipelihara sampai mereka kembali.
Kedua
bersaudara itu hanya menumpang sebuah kapal dagang yang datang ke kota
itu. Untuk sementara, mereka menjadi kuli di kapal itu. Ibunya hanya
dapat membekali mereka dengan ketupat nasi masing-masing tiga buah.
Namun sang ibu mengiringi kedua anaknya dengan doa agar mereka selamat
di perantauan dan berhasil mencapai cita-cita mereka.
Hari
berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Entah berapa purnama telah
berlalu, sang ibu masih tetap menunggu kedatangan kedua anaknya. Usianya
semakin tua dan rambutnya pun semakin banyak yang memutih. Tenaganya
semakin berkurang karena ketuaannya dan ia pun sering sakit-sakitan.
Namun, ia tetap bekerja menurut kemampuannya demi sesuap nasi.
Di
perantauan, kedua kakak beradik itu berhasil menjadi orang yang kaya
raya. Keduanya telah memiliki sebuah kapal yang cukup besar dan bagus.
Keduanya memiliki para pekerja dan pengiring. Keduanya pun memiliki
istri yang cantik sekali.
Setelah beberapa lama merantau, timbul
hasrat kedua bersaudara itu untuk kembali ke kampung halamannya di
Kalimantan Barat. Kedua kapal kakak beradik itu berlayar menuju
Kalimantan Barat. Setelah beberapa lama berlayar, sampailah mereka di
pesisir Kalimantan Barat dan langsung menyusuri Sungai Kapuas. Akhirnya
kedua kapal itu tiba di wilayah Sanggau dan berlabuh ditengah Sungai
Kapuas.
Ibu mereka yang sudah tua mendengar bahwa yang datang
adalah kedua anaknya, maka dengan tertatih-tatih ia naik perahu sambil
membawa ubi rebus dan dua ekor ayam jantan.
Ketika wanita tua itu
tiba di kapal anaknya yang sulung, ia tidak diakui sebagai ibu oleh
anaknya. Si Sulung merasa malu beribukan wanita miskin lagi buruk itu,
malu kepada istri dan bawahannya.
Ketika sang Ibu ingin memeluk
karena rindu. Ia menolak dengan ucapan kasar, “Hai orang tua buruk lagi
melarat. Apakah kau sudah gila, kau bukan ibuku. Ibuku sudah lama
meninggal. Cepat pergi dari sini!”
“Anakku mengapa kau melupakanku.” kata wanita itu. “Aku ini ibumu, lihat ayam jantan kecil ketika kalian berangkat.”
Mendengar
ucapan itu, kemarahan anaknya makin menjadi-jadi. Ibunya ditendang
dengan keras hingga jatuh tersungkur dan pingsan. Lama ia tak sadarkan
diri.
Setelah siuman ia berjalan menuju kapal anaknya yang lain.
Ia berharap akan mendapat perlakuan yang baik dari anak bungsunya.
Tetapi di kapal anaknya yang bungsu, ia mendapat perlakuan yang lebih
kejam. Matanya ditusuk dengan tongkat sehingga menjadi buta.
Orang
tua itu menangis, lalu pulang. Sedih hatinya mendapat perlakuan yang
menyakitkan dari kedua anaknya itu. Akan tetapi, kesedihan itu menjadi
sebuah kebencian.
Ibu tua itu membuat sebuah pedupaan di
rumahnya. Pedupaan yang sedang berasap itu ditaruhnya di lubang lesung.
Kemudian ia naik ke atas lesung itu. Sambil menggucangkan susu kiri dan
susu kanannya, ia berseru, “Ya Tuhan. kedua anak kandungku telah durhaka
kepada ibunya. Apakah benar mereka itu bukan anakku?”
Sambil
terus mengguncangkan kedua susunya, ibu tua itu berseru lagi, “Kalau
mereka itu benar anakku dan mereka meminum air susu ini, timpakanlah
bala bencana atas mereka.”
Tidak lama setelah ibu tua itu
mengucapkan kata-katanya yang terakhir, angin mulai bertiup. Mula-mula
perlahan, makin lama makin kencang. Dilangit awan hitam semakin menebal.
Tidak lama kemudian, langit menjadi gelap gulita. Angin menderu dan
mendesing disertai kilat dan petir yang sambung-menyambung. Bunyi guruh
menggelegar seperti membelah bumi. Tiba-tiba datang angin putar yang
disebut angin puting beliung. Angin itu menerpa kapal milik kedua
bersaudara yang berada di tengah Sungai Kapuas. Tiang-tiang layarnya
rusak dan patah. Angin putting beliung datang berulang-ulang. Kedua
kapal itu miring, lalu terangkat ke atas, dan tarhempas ke air tanpa
ampun. Akhirnya, kedua kapal itu tenggelam dan tidak seorang pun
selamat. Harta benda di kapal itu semuanya musnah. Sebelum kedua kapal
itu tenggelam, kedua anak durhaka itu berteriak minta ampun kepada
ibunya. Akan tetapi, hal itu sudah terlambat. Kutukan Tuhan telah
berlaku atas mereka.
Setelah kedua kapal itu tenggelam, angin
mulai mereda. Langit sedikit demi sedikit kembali cerah. Akhirnya, cuaca
kembali terang. Angin berhembus perlahan-lahan, seolah-olah tidak
pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Beberapa tahun kemudian,
muncullah dua buah pulau yang bentuknya menyerupai kapal yang sedang
berlomba. Kedua pulau itu berada di tengah Sungai Kapuas. Oleh karena
itu, kedua pulau itu oleh penduduk setempat dinamakan Pulau Belumbak
atau Pulau Berlomba.
Kita tidak boleh durhaka terhadap kedua
orang tua kita. Orang yang durhaka kepada orang tuanya dan belum
mendapat maaf darinya maka ia akan mendapat bencana baik di dunia maupun
akhirat. Dikutuk oleh Tuhan, seperti halnya kedua bersaudara dalam
cerita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar