Prasasti Ciaruteun

Situs Ciaruteun terletak ± 19 km sebelah baratdaya dari Kota Bogor, dapat dicapai dengan kendaraan roda empat ataupun roda dua hingga ke lokasi. Dapat menggunakan trayek Bogor-Ciampea-Simpang Lebak Sirna-Ciaruteun Hilir (lokasi). Selain itu mengunakan trayek Bogor-Ciampea (± 45 menit), dan sampai di Persimpangan Lebak Sirna dilanjutkan dengan ojek motor ± 1,5 km sampai ke lokasi.

Prasasti termasuk di dalam Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang. Secara geogrfis terletak pada koordinat 106°41'28,5"BT dan 06°31'39,9" LS dengan ketinggian 320 m di atas permukaan air laut. Area situs dibatasi oleh tiga sungai, yaitu selatan: Sungai Ciaruteun, barat: Sungai Cianten, utara: Muara Sungai Cianten dan Sungai Cisadane, barat: Sungai Cisadane. Dari Sungai Cianten dan Cisadane terdapat perahu penyeberangan menuju situs. Tanah situs cukup subur dan dimanfaatkan oleh penduduk dengan menanami padi, sayuran, bambu dan tanaman keras lainnya. Di kawasan ini terdapat tiga buah prasasti, yaitu Ciaruteun, Kebon Kopi (Tapak Gajah) dan Muara Cianten, serta tinggalan megalitik antara lain batu dakon, menhir, batu datar arca megalitik.

Prasasti Ciaruteun diketahui berdasarkan laporan pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1863 M, ditemukan terletak Sungai Ciaruteun, kira-kira 100 meter ke arah hilir muara Cisadane. Menurut informasi ketika terjadi banjir pada tahun 1894 M, prasasti tersebut bergeser sehingga tulisannya terbalik menghadap ke dasar sungai, kemudian pada tahun 1903 M letaknya diperbaiki. Pada tahun 1987 dipindahkan dari tengah Sungai Ciaruteun ke daratan (di atas Sungai) ± 150 meter sebelah utara. Semula batu prasasti berada di sungai Ciareteun termasuk daerah Kecamatan Ciampea. Tetapi sejak batu itu diangkat dan dicungkup di kampung Muara yang terletak di seberangnya (1981), termasuk di dalam Kecamatan Cibungbulang. Karena ditemukan pada alur Sungai Ciaruteun, prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Ciaruteun.

Kemudian Prasasti ini telah dialih aksara dan diterjemahkan oleh J.Ph. Vogel (1925) The Earliest Sanskrit Inscription of Java, R.M. Ng. Poerbacaraka (1952). Prasasti Ciaruteun ditulis dengan huruf Palawa dalam Bahasa Sangsakerta sebanyak 4 baris masing-masing 8 suku kata Bunyi bacaannya :

Isi
vikkrantasy avanip ateh
^rimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
vishnoriva padadvayam

Terjemahannya:
"(Bekas) dua kaki yang seperti kaki Wisnu itu adalah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Tarumanegara, raja yang gagah berani di dunia ".

Inskripsi tertulis pada sebongkah batu andesit dengan ukuran Tinggi: 151 cm, Diameter atas: 72 cm, Diameter bawah: 134 cm. Goresan berupa sepasang tapak kaki dan lukisan laba-laba yang dipahatkan di atas huruf. Tulisan terdiri dari 4 baris dituliskan dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh. Dalam prasasti ini terdapat 2 telapak kaki yang yang disamakan dengan dengan tapak kaki Dewa Wisnu.

Berdasarkan isi prasasti dapat diketahui tiga hal yaitu: nama kerajaan Tarumanagara, nama raja Purnawarman dan (mungkin) dewa yang di-pujanya Wisnu. Tidak ada tanda-tanda yang menunjuk lokasi keraton. Hanya saja dapat dipastikan, daerah tempat ditemukannya tentu termasuk kawasan Tarumanagara. Prasasti ini tidak memuat pertanggalan dan dari bentuk tulisan diperkirakan dibuat pada abad ke-5 M.

Ada dua hal yang walau pun pernah ramai diperdebatkan oleh para ahli, belum dapat dipecahkan dari prasasti ini. Hal yang pertama ialah ukiran semacam hiasan yang diduga sebagai huruf, bahkan disebut huruf-ikal. Kedua adalah sepasang tanda menyerupai "labah-labah" di depan jejak kaki. Teori atau dugaan yang dilontarkan bermacam-macam. Ada yang menduga sebagai labah-labah lambang kekuasaan yang menguasai raja-raja daerah dengan "jaring-jaring benangnya"; ada yang menduganya sebagai lambang "matahari kembar" dan ada juga yang menganggapnya sebagai lambang persatuan "surya-candra' (matahari dan bulan). Tegasnya "huruf ikal" dan tanda "labah-labah" itu masih diliputi rahasia masa silam.

Prasasti berada tidak jauh dari dalam Kota Bogor, dan kawasan telah menjadi milik pemerintah, dan telah ditata lingkungannya serta prasasti ini dari masa Kerajaan Tarumanegara dari abad ke-4-5 yang cukup langka, maka sangat potensial apabila dijadikan sebagai objek wisata budaya, khususnya bagi pelajar atau mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar