Kerajaan Mataram Islam

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.

Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.

Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.

Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak.

Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.

Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.

Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.

Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.

Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.

Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.

Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.

Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).

Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).

Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749).

Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.

Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III.

Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar